Tuesday, August 31, 2010

Aspirasi (Tahanan) Politik dan Hak Asasi Manusia

| 27 Agustus 2010 | 16:27


1 dari 1 Kompasianer menilai Bermanfaat.

Ingatkah kita dengan Tarian cakalele yang diperagakan oleh beberapa pengikut kelompok RMS (Republik Maluku Selatan) pada perayaan Hari Keluarga Nasional (HARGANAS) yang dihadiri oleh Presiden SBY? kejadian ini ditayangkan oleh salah satu stasiun swasta dan kemudian diputar di penjuru dunia melalui media-media asing di Indonesia.

atau acara menaikan bendera Bintang Kejora di Papua ?

Mereka dipenjara, paling tinggi 20 tahun, karena kegiatan politik. Kebanyakan terkait dengan penaikan bendera Bintang Kejora atau Republik Maluku Selatan. Mereka tak melakukan kekerasan. Para pesakitan Alifuru termasuk sekelompok lelaki yang menarikan cakalele di Stadion Ambon, 29 Juni 2007, di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Phil Robertson dari Human Rights Watch serta Johnson Panjaitan  dari Tim Advokasi Masyarakat Sipil Maluku (Sumber Andreas Harsono)

Phil Robertson dari Human Rights Watch serta Johnson Panjaitan dari Tim Advokasi Masyarakat Sipil Maluku ©2010 Andreas Harsono (Sumber Andreas Harsono)

Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Human Rights Watch tertulis beberapa wawancara terhadap para tahanan politik atas kasus-kasus ini. Laporan ini juga tidak bermaksud sebagai bentuk dukungan atau pun pelecehan terhadap aspirasi merdeka dari aktivis Papua maupun Alifuru. Namun konsisten dengan hukum internasional, Human Rights Watch mendukung hak semua orang, termasuk pendukung self-determination, untuk mengungkapkan pandangan politik mereka secara damai, tanpa ketakutan atau ditangkap atau menerima hukuman.

Andreas Harsono Blog)

Enam orang pesakitan politik Maluku di penjara Lowokwaru, Malang. Berdiri (kiri ke kanan): Yunus Maryo Litiloly, Johan Teterisa dan John Syaranamual. Duduk: Leonard Joni Sinay, Leonard Hendriks dan Ferjohn Saiya. Johan Teterisa, seorang guru SD di desa Aboru, Pulau Haruku, memimpin 27 penari membawakan tarian cakalele sambil mengibarkan bendera RMS pada 29 Juni 2010 ©2009 Abraham Hamzah (Sumber : Andreas Harsono Blog)


Sebagian besar dari pesakitan politik ini divonis makar dengan pasal 106 dan 110 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dalam beberapa kasus, mereka disiksa di tahanan maupun penjara. Beberapa menerima penganiayaan serta penolakan bantuan medis selagi di penjara.


Menurut Johan Teterisa dari desa Aboru, Pulau Haruku, dia ditangkap petugas Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) saat menari cakalele di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan tamu lain. Hanya dalam hitungan jam, dia sudah disiksa oleh polisi Ambon di markas besar Detasemen Khusus 88, daerah Tantui, Ambon. Mereka memukul Teterisa sekitar 12 jam setiap hari selama 11 hari. Dia dipukul dengan batang besi dan batu, serta disayat dengan bayonet.


Pada 30 Juni 2007, empat polisi Detasemen Khusus 88 memukulnya di pinggir pantai, berguling-guling hingga masuk laut. Mereka terus pukul dia dalam air laut. Teterisa mengatakan dada serasa remuk, beberapa tulang rusuk patah, serta tubuh lebam-lebam hitam.


Suatu malam, Juli 2007, sekitar pukul 23:00, beberapa petugas membawa Teterisa ke Stadion Merdeka. Dia diborgol dan berjalan dengan todongan pistol. “Beta terus berdoa. Beta takut dihabiskan malam itu. Beta pikir mereka cuma punya satu pilihan: bunuh beta.” Ternyata Teterisa hanya diminta menunjukkan tempat kejadian, cerita rute masuk stadion, lalu dibawa kembali ke tahanan. Kini di penjara Lowokwaru, menjalani hukuman 15 tahun, Teterisa mengatakan sering pusing kepala dan tak bisa tidur pada sisi badan yang tulang rusuk patah.


Reimond Tuapattinaya, juga pesakitan RMS, kini di penjara Kediri dengan hukuman makar karena ikut upacara bendera RMS pada 25 April 2006, mengatakan, “Kita dibuka pakaian, tinggal celana dalam, tidur dikasih di atas tegel, pagi-pagi disuruh merayap, ditendang, diinjak. Kalau mereka pegang besi, kita kena besi. Kalau mereka pegang kayu, ya kita kena kayu. Kabel ya kabel. Sepatu, kepalan tangan.” Tuapattinaya ada 14 hari di Tantui, disiksa setiap hari. “Siang diambil, sore dikembalikan ke tahanan,” katanya.


Pengacara Johnson Panjaitan dari Tim Advokasi Masyarakat Sipil Maluku (Tamasu) mengatakan dia sudah bekerja selama 20 tahun mendampingi macam-macam pesakitan politik, dari Aceh hingga Papua, dari Ambon hingga Timor Timur. Dia bilang pesakitan Alifuru adalah korban siksaan paling kejam di Indonesia. Ambon juga termasuk kasus pelanggaran hak asasi manusia berat yang paling jarang dimengerti orang.


Dalam laporan lainnya Human Rights Watch, salah satu pesakitan yang mungkin paling terkenal di Papua adalah Filep Karma. Dia ditangkap 1 Desember 2004. Pada Mei 2005, pengadilan negeri Abepura menyatakan Karma bersalah dengan tuduhan makar setelah mengorganisir aksi pro-kemerdekaan pada 1 Desember 2004, dan dihukum 15 tahun penjara. Dia telah menikah dengan seorang therapist Jawa. Mereka memiliki dua anak perempuan. Putri sulung Audryne (bergambar dengan Bapanya ©2007 Audryne Karma) kini kuliah di Jawa.

Andreas Harsono)

Filep Karma dan Audryne Putri Sulungnya (Sumber : Andreas Harsono)


Karma lahir pada 1959 dari keluarga terpandang di Papua. Ayahnya, Andreas Karma, seorang birokrat berpendidikan Belanda. Selama dua periode, dia ditunjuk sebagai bupati Wamena pada 1970-an dan Serui pada 1980-an, juga dua periode. Andreas Karma total jadi bupati selama 20 tahun. Dia salah satu birokrat paling populer di Biak, Serui dan Wamena. Sepupu Filep, Constant Karma, wakil gubernur Papua. Filep Karma sendiri pernah kuliah di Universitas Sebelas Maret, Solo, serta Asian Institute of Management, Manila.

Filep Karma tak pernah menganjurkan kekerasan. Dia mengatakan, “Kami ingin membuka suatu dialog yang bermartabat dengan pemerintah Indonesia, suatu dialog antara dua orang bermartabat, dan bermartabat berarti kami tidak pakai cara-cara kekerasan.”

Andreas Harsono)

Tadeus Weripang dan Simon Tuturop adalah sahabat dekat, keduanya kelahiran Fakfak, Papua, pada 1950-an. Pada 3 Juli 1982, mereka bergabung dengan puluhan warga Papua, mengibarkan bendera Bintang Kejora di Jayapura. Weripang dihukum tujuh tahun penjara sementara Tuturop 10 tahun. Kini mereka kembali dipenjara karena pengibaran bendera Bintang Kejora di Gedung Pepera di Fakfak, pada 19 Juli 2008. Pepera singkatan dari “Penentuan Pendapat Rakyat” yang disponsori PBB pada 1969. Banyak warga Papua percaya Pepera 1969 hasil manipulasi Indonesia. ©2008 Fredy Warpopor (Sumber : Andreas Harsono)


Human Rights Watch, Kontras dan Tamasu mengimbau pemerintah Indonesia segera membebaskan tanpa syarat semua pesakitan politik yang menyatakan aspirasi mereka secara damai. Pemerintah Indonesia juga harus secepatnya mencabut pasal-pasal makar KUHP maupun Peraturan Pemerintah No. 77/2007 yang melarang penggunaan bendera Acheh, Alifuru maupun Papua.

Andreas Harsono)

Ferdinand Pakage bersama mamanya di penjara Abepura ©2010 Cyntia Warwe/Garda Papua (Sumber : Andreas Harsono)


Pakage dinyatakan bersalah membunuh polisi Rahman Arizona dalam sebuah demonstrasi depan kampus Universitas Cenderawasih pada 15 Maret 2006. Pakage membantah tuduhan tersebut. Dia ada di rumah saat pembunuhan. Pakage mengatakan dia disiksa, ditembak kaki kanan, dipaksa mengaku membunuh. Dia tak didampingi pengacara saat pemeriksaan polisi. Saat sidang, belakangan pengacara juga tak mengajukan saksi. Human Rights Watch mengusulkan kasus Ferdinand Pakage diperiksa ulang. Pada 22 September 2008, di penjara Abepura, tiga penjaga menyiksa Pakage. Sipir Herbert Toam memukul dengan kunci dan anak kunci menembus mata kanan Pakage. Dalam keadaan tak sadar dan berdarah, dia dilempar ke sel isolasi dan tak diobati selama 24 jam. Kini Ferdinand Pakage buta mata kanan.


Tulisan, berikut gambar yang tercantum di blog ini saya ambil beberapa bagian bahkan hampir seluruhnya dari blog Andreas Harsono (www.andreasharsono.blogspot.com)

New York Agreement

A document brokered in 1962 after Indonesia threaten to accept monies from Moscow if the US President did not have the Netherlands transfer West Papua's sovereignty to Indonesia.

"No right anywhere exist to hand people about from sovereignty to sovereignty as if they were property in a game"
- Woodrow Wilson, Washington, 11th Feb 1918
The 'The New York Agreement' was unilaterally orchestrated without consent or involvement of the People of West Papua after the failed Indonesian invasion attempts in December 1961 and January 1962. The Agreement was in English and the below is that agreement, including Indonesia's agreement that the people were meant to have rights of freedom of speech, movement, and assembly; as well as the rights of all the people to be eligible to vote.

In 1969 the Indonesian military staged a 'Act of Free Choice' in which they selected 1025 people who who allowed to vote on behalf of the estimated one million population; Indonesia claimed this satisfied their committment under the New York Agreement. The United Nations took 'note' of this Indonesian declaration and did not object to the conduct of the Act although their representative had voice the gross injustice of this farce.

External Refernce Document Release Marks 35th Anniversary of Controversial Vote and Annexation

15 August 1962

AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE KINGDOM OF THE NETHERLANDS CONCERNING WEST NEW GUINEA (WEST IRIAN) / WEST PAPUA

The Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands, having in mind the interests and welfare of the people of the territory of West New Guinea (West Irian) hereinafter referred to as "the territory",

Desirous of settling their dispute regarding the territory,

Now, therefore, agree as follows:

Ratification of Agreement and Resolution of the General Assembly of the United Nations

Article I

After the present Agreement between Indonesia and the Netherlands has been signed and ratified by both Contradicting Parties, Indonesia and the Netherlands will jointly sponsor a draft resolution in the United Nations under the terms of which the General Assembly of the United Nations takes note of the present Agreement, acknowledges the role conferred upon the Secretary General of the United Nations, therein, and authorizes him to carry out the tasks entrusted to him therein.

Transfer of Administration

Article II

After the adoption of the resolution referred to in Article I, the Netherlands will transfer administration of the territory to a United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) established by and under the jurisdiction of the Secretary-General upon the arrival of the United Nations administrator appointed in accordance with Article IV. The UNTEA will in turn transfer the administration to Indonesia in accordance with Article XII.

United Nations Administration

Article III

In order to facilitate the transfer of administration to the UNTEA after the adoption of the resolution by the General-Secretary to send a representative to consult briefly with the Netherlands Governor of the territory prior to the latter's departure. The Netherlands Governor will depart prior to the arrival of the United National Administrator.

Article IV

A United Nations Administrator, acceptable to Indonesia and the Netherlands, will be appointed by the Secretary-General.

Article V

The United Nations Administrator, as chief executive office of the UNTEA, will have full authority under the direction of the Secretary-General to administer the territory for the period of the UNTEA administration in accordance with the terms of the present Agreement.

Article VI

1. The United Nations flag will be flown during the period of the United Nations Administration.

2. With regard to the flying of the Indonesian and Netherlands flag, it is agreed that this matter will be determined by agreement between the Secretary-General and respective governments.

Article VII

The Secretary-General will provide UNTEA with such security forces as the United Nations Administrator deems necessary; such forces will primarily supplement existing Papuan police in the task of maintaining law and order. The Papuan Volunteer Corps, which on the arrival of the United Nations Administrator will cease being part of the Netherlands armed forces, and the Indonesian armed forces in the territory will be under the authority, and at the disposal of, the Secretary-General for the same purpose.

The United Nations Administrator will, to the extent feasible, use the Papuan police as the United Nations security force to maintain law and order, and, at his discretion, use Indonesian armed forces. The Netherlands armed forces will be repatriated as rapidly as possible and while still in the territory will be under the authority of the UNTEA.

Article VIII

The United Nations Administrator will send periodic reports to the Secretary-General on the principal aspects of the implementation of the present Agreement. The Secretary-General will submit full reports to Indonesia and the Netherlands and may submit, at his discretion, reports to the General Assembly or to all United Nations Members.

First Phase of the UNTEA Administration

Article IX

The United Nations Administration will replace as rapidly as possible top Netherlands officials as defined in Annex A with non-Netherlands, non-Indonesian officials during the first phase of the UNTEA administration which will be completed on 1 May 1963. The United Nations Administrator will be authorized to employ on a temporary basis all Netherlands officials other than top Netherlands officials defined in Annex A, who wish to serve as the Secretary-General may specify. As many Papuans as possible will be brought into administrative and technical positions. To fill the remaining required posts, the UNTEA will have authority to employ personnel provided by Indonesia. Salary rates in the territory will be maintained.

Article X

Immediately after the transfer of the administration to the UNTEA, the UNTEA will widely publicize and explain the terms of the present Agreement, and will inform the population concerning the transfer of Administration to Indonesia and the provisions for the act of self-determination as set out in the present Agreement.

Article XI

To the extend that they are consistent with the letter and spirit of the present Agreement, existing laws and regulations will remain in effect. The UNTEA will have the power to promulgate framework of the present Agreement. The representative councils will be consulted prior to the issuance of new laws and regulations or the amendment of existing laws.

Second Phase

Article XII

The United Nations Administrator will have discretion to transfer all or part of the administration to Indonesia at any time after the first phase of the UNTEA administration. The UNTEA's authority will cease at the moment of the transfer of full administrative control to Indonesia.

Indonesian Administration and Self-Determination

Article XIV

After the transfer of full administrative responsibility to Indonesia, Indonesia national laws and regulations will in principle be applicable in the territory, it being understood that they be consistent with the rights and freedom guaranteed to the inhabitants under the terms of the present Agreement. New laws and regulations or amendments to the existing ones can be enacted within the spirit of the present Agreement. The representative councils will be consulted as appropriate.

Article XV

After the transfer of full administrative responsibility to Indonesia, the primary task of Indonesia will be further intensification of the education of the people, the combatting of illiteracy, and of the advancement of their social, cultural and economic development. Efforts will be made in accordance with present Indonesian practice to accelerate the participation of the people in local government through periodic elections. Any respects relating to the act of free choice will be governed by the terms of this Agreement.

Article XVI

At the same time of transfer of full administrative responsibility to Indonesia a number of United Nations experts, as deemed adequate by the Secretary-General after consultation with Indonesia, will be designated to remain wherever their duties require their presence. Their duties will, prior to the arrival of the United Nations Representative, who will participate at the appropriate time in the arrangements for self-determination, be limited to advising on and assisting in preparation for carrying out the provisions for self-determination except in so far as Indonesia and the Secretary-General may agree upon their performing other expert functions. They will be responsible to the Secretary-General for the carrying out of their duties.

Article XVII

Indonesia will invite the Secretary-General to appoint a Representative who, together with a staff made up, inter-alia of experts referred to in Article XVI, will carry out Secretary-General's responsibilities to advise, assist, and participate in arrangements which are the responsibility of Indonesia for the act of free choice. The Secretary-General will, at the proper time, appoint the United Nations Representative in order that he and his staff may assume their duties in the territory one year prior to the self-determination. Such additional staff as the United Nations Representative might feel necessary will be determined by the Secretary-General after consultations with Indonesia. The United Nations Representative and his staff will have the same freedom of movement as provided for the personnel referred to in Article XVI.

Article XVIII

Indonesia will make arrangements, with the assistance and participation of the United Nations Representative and his staff, to give the people of the territory, the opportunity to exercise freedom of choice. Such arrangements will include:

a. Consultation (musyawarah) with the representative councils on procedures and methods to be followed for ascertaining the freely expressed will of the population.

b. The determination of the actual date of the exercise of free choice within the period established by the present Agreement.

c. Formulations of the questions in such a way as to permit the inhabitants to decide (a) whether they wish to remain with Indonesia; or (b) whether they wish to sever ties with Indonesia.

d. The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals to participate in the act of self-determination to be carried out in accordance with international practice, who are resident at the time of the signing of the present Agreement, including those residents who departed after 1945 and who returned to the territory to resume residence after the termination of the Netherlands administration.

Article XIX

The United Nations Representative will report to the Secretary-General on the arrangements arrived at for freedom of choice.

Article XX

The act of self-determination will be completed before the end of 1969.

Article XXI

1. After the exercise of the right of self-determination, Indonesia and the United Nations Representative will submit final reports to the Secretary-General who will report to the General Assembly on the conduct of the act of self-determination and the results thereof.

2. The parties to the present Agreement will recognize and abide by the results of the act of self-determination.

Rights of the Inhabitants

Article XXII

1. The UNTEA and Indonesia will guarantee fully the rights, including the rights of free speech, freedom of movement and of assembly of the inhabitants of the area. These rights will include the existing rights of the inhabitants of the territory at the time of the transfer of administration to the UNTEA.

2. The UNTEA will take over existing Netherlands commitments in respect of concessions and property rights.

3. After Indonesia has taken over the administration it will honor those communities which are not inconsistent with the interests and economic development of the people of the territory. A joint Indonesian-Netherlands commission will be set up after the transfer of administration to Indonesia to study the nature of the above-mentioned concessions and property rights.

4. During the period of the UNTEA administration there will be freedom of movements for civilian of Indonesia and Netherlands nationalities to and from the territory.

Article XXIII

Vacancies in the representative councils caused by the departure of Netherlands nationals or for other reasons, will be filled as appropriate in consistent with the existing legislation by elections, or by appointment by the UNTEA. The representative councils will be consulted prior to the appointment of new representative.

Financial Matters

Article XXIV

1. Deficit in the budget of the territory during the UNTEA administration will be shared equally by Indonesia and the Netherlands.

2. Indonesia and the Netherlands will be consulted by the Secretary-General in the preparation of the UNTEA budget and other financial matters relating to the United Nations responsibilities under the present Agreement; however the Secretary-General will have the final decision.

3. The Parties to the present Agreement will reimburse the Secretary-General for all costs incurred by the United Nations under the present Agreement and will make available suitable funds in advance for the discharge of the Secretary-General's responsibilities. The Parties to the present Agreement will share on an equal basis the costs of such reimbursements and advances.

Previous Treaties and Agreements

Article XXV

The present Agreement will take precedence over any previous agreement on the territory. Previous treaties and agreements regarding the territory may therefore be terminated or adjusted as necessary to conform to the terms of the present Agreement.

Priviledges and Immunities

Article XXVI

For the purposes of the present Agreement, Indonesia and the Netherlands will apply to the United Nations property, funds, assets, and officials to provisions of the Convention on the Privileges and Immunities of the United Nations.

In particular, the United Nations Administrator, appointed pursuant to Article IV, and the United Nations Representative, appointed pursuant to Article XVII, will enjoy privileges and immunities specified in Section 19 of the Convention on the Privileges and Immunities of the United nations.

Ratification

Article XXVII

1. The present Agreement will be ratified in accordance with the constitutional procedures of the Contracting Parties.

2. The instruments of ratification will be exchanged as soon as possible at the Headquarters of the United Nations by the accredited representatives of the Contracting Parties.

3. The Secretary-General will draw up a process-verbal of the exchange of the instruments of ratification and will furnish a certified copy thereof to each Contracting Party.

Entry into Force

Article XXVIII

1. The present Agreement will enter into force upon the date of the adoption by the General Assembly of the resolution referred to in Article I of the present Agreement.

2. Upon the entry into force of the present Agreement, the Secretary-General of the United Nations will register it in accordance with Article 102 of the Charter.

Authentic Text

Article XXIX

The authentic text of the present Agreement is drawn up in English language. Translations in the Indonesian and Netherlands language will be exchanged between the Contracting Parties.

In Witness thereof the undersigned plenipotentiaries, being duly authorized for that purpose by their respective Governments, have signed the present Agreement.

Issued at the Headquarters of the United Nations, New York, on this fifteenth day of August 1962, in three identical copies, of which one shall be deposited with the Secretary-General and one shall be furnished to the Government of each of the Contracting Parties.

Signed, Subandrio - for the Republic of Indonesia Signed, J. Herman van Roijen - for the Kingdom of the Netherlands Signed, C.W.A. Schurmann - for the Kingdom of the Netherlands

PEPERA TAHUN 1969 CACAT HUKUM

EPERA TAHUN 1969 CACAT HUKUM
Oleh John Anari, S. Komp.

Kata Referendum atau Plebisit berasal dari bahasa Latin yaitu plebiscita
yang berarti pemilihan langsung, dimana pemilih diberi kesempatan untuk
memilih atau menolak suatu tawaran/usulan. Di Indonesia sering disebut
Jajak Pendapat sedangkan di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) disebut
Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination).
Foto bersama wakil Indonesia DR. Soebandrio dan wakil Belanda DR. Van Royen serta SEKJEN PBB Uthant di markas Besar PBB New York tanggal 15 Agustus 1962.


Namun pada saat penanda-tanganan Perjanjian New York di Markas PBB
tanggal 15 Agustus 1962 dirubah kata Self Determination menjadi Act of
Free Choice yang berarti Pemilihan Bebas.
Sedangkan di Indonesia disebut Penentuan Pendapat Rakyat atau
disingkat PEPERA.

Dalam pasal 18 terlihat secara nyata bahwa PBB harus terlibat dalam proses persiapan hingga pelaksanaan Penentuan Nasib Sendiri tetapi nyatanya PBB telah meninggalkan Papua karena PBB berada di Papua Barat hanya 6 (enam) bulan saja (1 Oktober 1962 – 1 Mei 1963). Pada ayat a pun dilanggar karena Indonesia hanya melakukan konsultasi dengan anggota Dewan Perwakilan di Jayapura lalu secara tiba-tiba membentuk Dewan Musyawarah PEPERA (DMP) dan menetapkan metode Pemilihan (Referendum) melalui Perwakilan yang akan dipilih untuk dimasukkan ke dalam anggota DMP. Ayat b dimajukan tahun 1969 karena mereka masih primintif sehingga masih biasa ditipu oleh Bangsa Indonesia untuk memilih bergabung dengan Indonesia. Padahal seharunya tidak diperbolehkan karena kondisi keadaan Penduduk Bangsa Asli Papua yang masih sangat terbelakang. Pelaksanaan ayat d pun juga dilanggar karena telah memasukkan jumlah orang nasional Indonesia yang terutama berasal dari Maluku dan orang nasional Indonesia jumlahnya melebihi warga asli Papua yaitu lebih dari 600 orang sedangkan Penduduk Asli Papua hanya sekitar 300 lebih. Serta proses Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) ini tidak dilaksanakan sesuai Praktek International karena dilaksanakan secara tertutup, rahasia dan melalui perwakilan yang ditunjuk langsung oleh militer Indonesia.

Stop! Stigmatisasi OPM, Makar dan Separatis

Stop! Stigmatisasi OPM, Makar dan Separatis PDF Cetak E-mail
Minggu, 29 Agustus 2010 18:0

Stop! Stigmatisasi OPM, Makar dan Separatis

Sokrates Kembali Tegaskan Tak Akan Mau Dipanggil Polda

Sokrates Y Yoman, minta semua pihak stop setikmasisasi OPM makar dan separatis terhadap orang Papua.Jayapura—Ketua Umum PGBP, Pdt. Dumma S.S. Yoman meminta semua pihak agar menghentikan stigmatisasi OPM, makar dan separatis terhadap orang Papua. ‘’Cukup sampai di sini mereka dihina, dilecehkan. Mereka institusi Allah, Umat Allah. Yang dikasih stigma OPM, separtis, makar, diculik, dibunuh, itu siapa yang lakukan. Siapa yang lakukan,’’ ung­kapnya tegas saat ditemui wartawan usai deklarasi Forum Gerakan Pemuda Babtis Papua (FGPBP) di Gereja PGBP Jemaat Yame Heram, Expo Waena Sabtu (28/8).
Karena itu, ia memin­ta semua pihak harus sadar akan hal tersebut jika menginginkan untuk tetap menjaga keutuhan NKRI. ‘’Kita harus sadar, kalau mau jaga NKRI ini baik-baik kita harus sadar,’’ tandasnya lagi.
Hal itu diungkapkan ketika disinggung tentang isi klarifikasi yang telah diberikannya ke Polda Papua, yang pada intinya menurut pendeta yang cukup memiliki kharismatik tersendiri tersebut, berisi pertanyaan tentang enam tahun kon­flik di Puncak Jaya yang menim­bulkan keprihatinan umat belum kunjung usai. ‘’Saya bilang ada bukti-bukti. Pende­ta Eliza Tabuni itu siapa yang bunuh. Itu yang saya bilang. Kemudian penggunaan uang Rp. 2,5 milyar tahun 2004 itu siapa yang pakai,’’ ungkapnya.
Ditegaskan bahwa dua hal tersebut tidak bisa disem­bunyikan. ‘’Karena kami orang daerah. Dan pejabat di sana orang daerah. Jangan lupa, you tidak bisa sembunyi-sembunyi,’’ tandasnya.
Lebih lanjut dikatakan bahwa tentang klarifikasi yang diinginkan pihak Polda Papua, Sokrates mengatakan bahwa ia tidak bisa diperlakukan sebagai tamu. ‘’Tapi panggilan secara institusi itu saya hargai jadi saya sudah beri klarifikasi. Soal saya pergi ke sana itu tidak mungkin. Tidak mungkin. Kalau mau, mereka yang datang ketemu saya,’’ ungkapnya.
Ditegaskan bahwa hal itu karena ia adalah orang yang memiliki tanah Papua. ‘’ Saya mau katakan, saya orang negeri ini, punya tanah ini. Saya tuan yang punya negeri ini, tanah ini. Jadi kalau teman-teman yang bertugas di sini butuh informasi datang ke saya. Kami tidak mau diperlakukan seperti tamu disini,’’ tandasnya lagi.

Dikatakan bahwa jika ada yang hedak memperoleh informasi yang diinginkan tentang Papua, ia terbuka. Namun dengan syarat yang membutuhkan informasi yang datang. ‘’Jadi antar pemimpin mari datang ke rumah. Mau Tanya apa. Datang saja. Pak Kapolda panggil-panggl saya, saya bukan anak kecil. Saya punya umat, kalau seenaknya saja, mereka (umat) akan marah,’’ jelasnya.
Sedangkan tentang komentarnya lewat media, Sokrates mengatakan bahwa sebagai seorang gembala umat punya hak menyampaikan keprihatinan umat kepada publik melalui media. ‘’Orang babtis akan marah kalau manusia itu dipermainkan. Karena manusia itu gambar Allah,’’ lanjutnya.
Organisasi Babtis Hanya Dibawah Aturan Tuhan
Sementara itu, Organi­sasi Babtis yang menurut Ketua PGBP (Persekutuan Gereja-gereja Babtis Papua) Pdt. Sokrates S Yoman telah eksis sejak 400 tahun lalu berawal di Inggris, bersifat independen, mandiri, otonom dan tidak ada yang bisa mengaturnya. ‘’Termasuk Negara tidak boleh mengatur organisasi Babtis,’’ ungkapnya saat memberikan sambu­tan dalam acara deklarasi Forum Gerakan Pemuda Babtis Papua (FGPBP) di Gereja PGBP Jemaat Yame Heram, Expo Waena Sabtu (28/8) kemarin.
Dalam acara yang menghadirkan delapan orang pemberi sambutan dari berbagai organisasi, termasuk di dalamnya Selpius Bobii (Front Pepera PB), Maco Tabuni (KNPB), dan lainlainnya tersebut Socratez mengungkapkan bahwa organisasi Babtis identik dengan kebebasan mengemukakan pendapat. ‘’Sehingga jangan heran kalau misalnya ada pihak-pihak yang telinganya merah , karena kita berangkat dari firman Allah. Allah tidak menciptakan orang Papua dengan stigma separatis, maker dan OPM. Karena itu kita harus lawan stigma itu,’’ ungkapnya.
Selpius Bobii dalam kesepatan tersebut mengharapkan agar organisasi kepeudaan Babtis tersebut untuk sama-sama berjuang melawan stigma yang diberikan oleh pihak manapun terhadap orang Papua seperti sparatis, OPM, maker dan lain-lainnya. ‘’Saya harap juga ja­ngan jadi kepanjangan tangan pemerintah untuk mengamankan kebijakan pe­nguasa yang sebenarnya sudah ditolak oleh masyarakat. Jadi komiten memperjuangkan hak-hak dan martabat orang Papua menjadi penekanan di sini,’’ ungkapnya dengan tegas. (aj)

Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Tak Digubris

Senin, 30 Agustus 2010 16:18

Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Tak Digubris

Koordinator Kontras Papua Johanis H Maturbongs, SH (kanan)Jayapura—Pelaksanaan UU No. 21 tentang Otonomi Khusus Papua tak henti-hentinya mendapat sorotan dari berbagai elemen masyarakat. Selain sorotan tentang penilaian pelaksanaannya yang dinilai gagal dengan parameter tidak dibuatnya Perdasi dan Perdasus sesuai amanat UU tersebut, juga pelaksanaan pasal demi pasal.
Salah satunya adalah pasal 45, yang menurut Koordinator Kontras Papua Johanis H Maturbongs,SH nyaris tak tersentuh. ‘’Di luar dari konteks pelaksanaan Otsus yang dikatakan gagal dan lain-lainnya, di dalam pasal itu kan diamanatkan kepada pemerintah daerah agar membentuk perwakilan Komnas HAM, Peradilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Namun sampai 10 tahun berjalan baru perwakilan Komnas HAM yang telah dibentuk,’’ ungkapnya dalam kesempatan jumpa pers di kantornya Senin (30/8) kemarin.
Sejarah lahirnya Otsus yang dilatarbelakangi dengan mencuatnya berbagai masalah terkait pelanggaran HAM maupun tuntutan pelurusan sejarah Papua, menurutnya hal itu yang melatar belakangi dimunculkannya Pendirian Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
‘’Kenapa dua hal tersebut seakan tidak digubris oleh pemerintah. Padahal hal itu sangat terkait dengan upaya pemulihan situasi Papua sesuai amanat Undang-Undang Otsus,’’ jelasnya.

Disinggung tentang yang paling bertanggung jawab atas hal tersebut, menurutnya adalah pemerintah bersama DPRD yang berwenang membentuknya.
‘’Tentunya Pemerintah Provinsi yang paling bertanggungjawab di sini untuk memberikan sebuah regulasi,’’ jelasnya.
Sedangkan posisi Pemerintah Pusat, menurutnya juga punya andil besar yakni dalam proses pengawasan. ‘’Bagi saya Pemerintah Pusat sudah memberi satu legitimasi berupa kewenangan pemerintah daerah, sehingga disini kemauan politik dari pemerintah daerah yang sa­ngat dibutuhkan,’’ungkapnya. (aj)

Thursday, August 26, 2010

Otsus Sudah Direvisi Diam-diam

John Ibo: Ada Tim Kecil Tanpa Libatkan DPRP

JAYAPURA—Wacana rekonstruki ataupun revisi Undang-Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua yang menjadi wacana publik rupanya tidak mungkin terwujud, pasalnya revisi UU Otsus Papua tersebut secara diam-dima sudah dilakukan dari waktu ke waktu.
Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu SH belum lama ini, mengatakan bahwa pihaknya bersama pemerintah telah banyak melakukan revisi atau memperbaiki pasal-pasal pada UU Otsus Papua, hanya saja rivisi atau perubahan yang dilakukan itu tidak banyak diketahui publik.
“Kita sudah lakukan revisi UU Otsus, banyak yang sudah kita perbaiki, kalau mereka masih terus minta revisi otsus berarti mereka tidak tahu yang selama ini,” jelas Gubernur Suebu.
Sementara itu Ketua DPRPapua Drs Jhon Ibo MM saat dikonfirmasi media ini mengaku tidak mengetahui adanya revisi undang-undang Otsus yang disebutkan Gubernur tersebut.
“Jadi revisi yang terjadi kita belum tahu dan kita memang sudah wacanakan untuk melakukan revisi UU Otsus tersebut,” jelas Jhon Ibo.
Jhon mengatakan, perubahan pasal didalam UU Otsus yaitu Pasal 7 ayat a dirubah dari pemilihan Gubernur oleh DPRP itu dirubah. Catatannya cuma dihapus, dan itu sebenarnya untuk fersi UU nomor 35 Tahun 2007 dengan muatannya lebih banyak tentang Provinsi Papua Barat.

“Kalau sekiranya itu pada tingkat revisi, revisi itu harus diketahui oleh rakyat yaitu sifatnya UU Khusus. Pada waktu rancangan UU khusus itu mau dilaksanakan pada tahun 1999, kewenangan negara penuh kepada orang Papua untuk mengisi UU Otsus itu perlu keinginan orang-orang Papua, kita harap pada waktu revisi UU Otsus, kewenangan seperti itu juga harus diberikan kepada orang Papua,” ingatnya.
Sedangkan terkait dengan revisi yang sudah dilakukan seperti yang disebutkan Gubernur, Jhon menyebutkan, bahwa revisi yang dilakukan tersebut tidak melibatkan DPRP dalam tim bentukan pemerintah tersebut.
“Satu tim yang sangat tertutup sekali dari rakyat. Tim itu dirancang bersama mantan wakil Presiden Jusuf Kalla, Fredy Numberi, Gubernur Papua, dan unsur MRP tapi DPRP tidak ada,” sebut Jhon.
Tim ini, sambung Jhon, melakukan pembicaraan di Gedung Negara untuk melakukan perubahan dan setelah rancangannya telah selesai dibuat dan untuk menghadap Presiden disitulah baru DPRP dilibatkan.
Akan tetapi ketidakterlibatan DPRP itu, tambahnya, sudah ada kesepakatan dengan petinggi-petinggi di Papua, dan nantinya juga perubahan-perubahan tersebut harus dibawah ke DPRP untuk diputuskan dalam persidangan DPRP yang kemudian dilanjutkan ke pemerintah pusat. (hen)

Otsus Sudah Direvisi Diam-diam John Ibo: Ada Tim Kecil Tanpa Libatkan DPRP

Pemkab Jayawijaya Akan Beli Asrama Mahasiswa di Jerman

Wempi: Ini Bagian dari Investasi SDM

WAMENA-Bupati Jayawijaya Wempi Wetipo S.Sos,M.Par mengatakan, pembangunan suatu daerah tidak hanya dengan memfokuskan pada penyediaan infrastruktur, melainkan jauh lebih penting adalah membangun manusianya yaitu melalui peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM).
Oleh karena itu, untuk mempersiapkan generasi muda Jayawijaya yang memiliki SDM berkualitas, maka tahun 2011 mendatang, Pemkab Jayawijaya mengalokasikan dana yang digunakan untuk membeli satu asrama di Jerman.
“Tahun depan, kami akan membeli satu asrama di Jerman, dimana asrama ini diperuntukkan bagi anak-anak negeri yang ada di Lembah Baliem, apa kah itu anak asli maupun anak yang lahir dan besar di Jayawijaya, pembelian asrama ini merupakan bagian dari investasi SDM, karena investasi SDM jauh lebih penting dari investasi bangunan,”kata Bupati Wempi.
Asrama yang bisa menampung 20 orang tersebut kata Bupati Wempi, membutuhkan dana sekitar Rp 2,3 M. “Kami sudah negosiasi dengan pemilik rumah, harganya cukup murah yaitu Rp 2,3 miliar, saya rasa ini adalah cara Tuhan yang luar biasa,”ujar bupati Wempi.
Untuk menempati asrama tersebut kata Bupati Wempi, tidak sulit syaratnya adalah harus mengetahui bahasa Inggris dan Bahasa Jerman. “Jadi harus tahu bahasa Inggris dan Bahasa Jerman, selain asrama anak-anak yang sekolah di sana juga bisa sambil bekerja, sehingga orang tua tidak perlu memikirkan mengenai biayanya,”jelas Bupati Wempi di Gedung Sosial GKI Wamena, baru-baru ini.
Setelah menyelesaikan study kata Bupati Wempi, anak-anak tersebut kembali ke Jayawijaya, untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh. “Jadi yang kuliah di Jerman, kembali ke Wamena tidak boleh menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), melainkan bergerak di sektor lain seperti wiraswasta dengan mengembangkan ilmu yang diperoleh selama di sana untuk mengelola berbagai potensi yang ada di Jayawijaya,”pungkasnya. (lmn) (scorpions)

PAPUA BUTUH KAPOLDA YANG TEGAS

Rabu, 25 Agu 2010

Magai: Papua Butuh Kapolda yang Tegas

25.08.2010.05.jpegJAYAPURA—Ketua Komisi A DPRP Ruben Magai SIP mengatakan, ketidak profesionalisan aparat pene¬gak hukum di Papua baik Kejaksaan Tinggi Papua maupun Polda Papua, dise¬babkan pemerintah pusat cenderung mengangkat Kejati Papua maupun Kapolda Papua dijabat oleh pejabat atau jenderal jenderal tua yang hendak memasuki Masa Persiapan Pensiun (MPP).

Akibatnya, tandasnya, ketika memimpin sebuah ins¬titusi maka tak banyak yang dapat ia lakukan terutama dalam bidang penegakan hukum dan HAM. Menurut dia, ia menghimbau kepada pemerintah pusat atau institusi yang berwenang untuk menugaskan mereka yang datang ke Papua adalah pejabat atau jenderal muda yang mempunyai kemampuan intelejen dan enerjik.

“Kejaksaan Tinggi Pa¬pua juga harus tegas. Kalau Kejaksaan dan Polda ditugaskan di Papua pada saat saat pensiun ini juga menjadi persoalan utama di Papua. Anak anak yang cerdas dan energik itu yang harus ditempatkan di Papua. Jangan ditempatkan seorang Kapolda yang satu tahun selesai di Papua lantas pensiun. Ini juga membuat kinerja aparat di Papua mati. Semua soal tak diungkapkan,”jelasnya saat dihubungi Bintang Papua di ruang kerjanya, Selasa (24/8) kemarin.

Hal ini menanggapi tuntutan para jurnalis Papua agar Kapolda Papua Irjen Pol Bekto Suprapto MSi diganti lantaran ia dinilai tak mampu mengungkap pelaku pembunuhan sadis terhadap wartawan Merauke TV Ardiansyah Matra’s (24), sebagaimana disampaikan ratusan anggota Aliansi Jurna¬lisme Independen (AJI) serta wartawan Papua khususnya yang bekerja di Jayapura ketika menggelar aksi unjukrasa di Halaman Mapolda Papua, Jayapura, Senin (23/8).

Karena itu, tambahnya, kedepan dihimbau kepada pemerintah pusat terutama orang orang yang hendak ditempatkan sebagai Kapolda dan Kejati di Papua bukan orang- orang yang mau dipensiunkan setahun kedepan. “Itu ndak boleh. Banyak soal yang mesti diselesaikan dan hanya bisa dilakukan orang yang mempunyai kemampuan dan energik, tapi kalau sebentar satu dua tahun tugas di Papua pensiun ngapain. Masalah belum dia selesaikan kasus korupsi masih terus, pembunuhan tak diungkap, pelanggaran HAM lain belum terungkap sampai mau kapan diungkap dipetieskan.

Sampai hari, ujarnya, pantauan pihak DPRP tindakan kriminal telah menunjukkan sebuah kemampuan aparat kepolisian, tapi di bidang pelanggaran hukum dan HAM sampai hari tak menunjukan profesionalisme kepolisian. Pasalnya, pemberantasan minuman keras (miras) serta narkotika dan obat obat terlarang masuk di Papua itu mereka telah menunjukan hal positif.

Tapi dalam bidang pelanggaran HAM beberapa kasus penembakan yang terjadi di Papua belu juga dituntaskan antara lain penem¬bakan Opinus Tabuni di Wamena, pengrusakan asrama sampai disidangkan di Makassar sampai hari ini belum tuntas.

Kemudian penem¬bakan yang terus menerus terjadi di Puncak Jaya juga belum terung¬kap. Terakhir pembunuhan sadis terhadap wartawan Merauke TV belum mampu diungkapkan. Kasus kasus korupsi sebagian besar belum terungkap.

Ini persoalan mendasar yang dituntut dari Polri agar bekerja efektif di Papua.

Sepanjang hal hal ini belum diselesaikan isu Papua Merdeka, Referendum itu berakibat dari kekecewaan rakyat dan polisi tak menunjukan sebuah kemampuan profesionalisme dalam mengungkap pelaku serta aktor dibelakannya. “Ini soal hari ini yang harus diungkap untuk menciptakan ketertiban dan keamanan bagi warga di Tanah Papua,” ungkapnya.

Dia menambahkan, pihaknya juga minta agar aparat penegak hukum yang ditugaskan di Papua mesti tetap dipertahankan sampai yang bersangkutan betul betul mampu menuntaskan pelbagai kasus kasus baik kasus pelanggaran HAM, kasus korupsi dan lain lain. (mdc / ngutip bintang papua )

Friday, August 20, 2010

Yorris Raweyai:Usut Tuntas Aktor Pengusul Referendum

Jum, 20 Agustus, 2010 19:24:49
KOMUNITAS PAPUA SEPARATIS PAPUA Usut Tuntas Aktor Pengusul Referendum
...
Dari:
Yan Pekey
...
Tambah ke Kontak
Kepada:Komunitas_Papua@yahoogroups.com


SEPARATIS PAPUA
Usut Tuntas Aktor Pengusul Referendum


Yorris Raweyai, Anggota Komisi I DPR (Fraksi Partai Golkar).
Jumat, 20 Agustus 2010
JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah didesak lebih serius mencermati siapa aktor-aktor di balik tuntutan pengembalian otonomi khusus (otsus), serta usulan referendum bagi rakyat Papua yang digelar masyarakat Papua Juni dan Juli lalu.
Demikian kumpulan pendapat yang dikemukakan pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, anggota Komisi I DPR Yorris Raweyai (Fraksi Partai Golkar) dan Ramadhan Pohan, serta Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR M Jafar Hafsah, yang disampaikan secara terpisah, di Jakarta, kemarin.
Menurut Siti, masyarakat kecil kebanyakan sebetulnya tidak begitu paham dengan referendum tersebut. Sekelompok elite politiklah yang sebenarnya bermain dengan membangun jejaring baik di pusat kekuasaan maupun jejaring internasional (LSM-LSM asing).
"Pemerintah harus tegas terhadap gerakan-gerakan seperti itu. Langkah awal Kementerian Dalam Negeri harus terus berkoordinasi dengan instansi terkait dalam konteks keamanan. Sebab, masalah ini bisa menjadi api dalam sekam," ujarnya di Jakarta, kemarin.
Beberapa waktu lalu, ribuan masyarakat Papua yang dikoordinasi oleh Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu (FDRPB) bergerak mendesak DPR Papua melaksanakan sidang paripurna guna menindaklanjuti aksi demo tanggal 18 Juni 2010 dalam rangka menyerahkan hasil musyawarah masyarakat Papua. Tuntutannya adalah mengembalikan otsus kepada pemerintah sekaligus menuntut referendum.
Di lain pihak, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Yorris Raweyai, meminta pemerintah mengintensifkan perhatian terhadap penduduk yang hidup di wilayah perbatasan maupun di pulau-pulau terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Dalam sembilan tahun terakhir, perhatian pemerintah terhadap kawasan perbatasan belum maksimal. Sebab itu, kami dari Komisi I meminta perhatian itu kembali dimaksimalkan agar kasus-kasus yang berpotensi merusak kedaulatan NKRI tidak terulang," ujar Yorris kepada Suara Karya di Jakarta, Kamis (19/8) malam.
Menurut Yorris, ada empat komponen yang harus diperhatikan pemerintah untuk mempertahankan dan menguatkan bingkai NKRI, yakni perwujudan kesejahteraan rakyat, peningkatan kesehatan, perbaikan pendidikan dan pembangunan infrastruktur desa.
"Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus. UU ini juga diadopsi untuk pemeliharaan kawasan perbatasan dalam konteks perhatian pemerintah terhadap warga negaranya," kata Yorris.
Terkait otonomi khusus Papua, Yorris menjelaskan, DPR telah membentuk tim evaluasi otonomi khusus Papua. Tim tersebut hingga kini masih bekerja menyelesaikan tugas-tugasnya. "Untuk sementara, hasil yang kami lihat bahwa pemerintah harus mengintensifkan perhatian terhadap Papua," ujarnya.
Sementara itu, di tempat terpisah, Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR Jafar Hafsah menilai, Pemerintah Indonesia harus mengintensifkan komunikasi dengan masyarakat Papua. Hal tersebut dianggap sangat penting dilakukan agar masyarakat Papua ikut merasa memiliki Papua sebagai bagian dari NKRI.
Selain itu, menurut Jafar, Pemerintah Indonesia juga harus menyinergikan kekuatan, fungsi, dan tugas TNI berdasarkan koridor operasi nonperang.
Dia menjelaskan, berdasarkan data yang diperoleh Komisi I, tidak ada desakan referendum dari kelompok tertentu, tapi hal ini dikhawatirkan muncul dari pihak "luar" yang punya kepentingan terhadap Papua maupun yang tidak menghendaki soliditas masyarakat Indonesia dalam bingkai NKRI.
"Kita sudah meninjau ke sana, tidak ada itu bahwa permintaan masyarakat di sana yang minta referendum. Isu yang ada selama ini maupun penyebaran SMS itu dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, dan kami (DPR-Red) bersedia untuk menjamin tidak ada referendum," katanya.
Jafar juga meminta agar masyarakat Indonesia yang berada di pulau-pulau terluar maupun yang berada di perbatasan untuk memberikan atensinya terhadap koridor NKRI. "Mungkin isu referendum papua bisa dijadikan pelajaran untuk memperkukuh NKRI," katanya.
Hal senada juga disampaikan oleh anggota Komisi I yang membidangi masalah politik luar negeri, pertahanan, komunikasi, dan informasi, Ramadhan Pohan.
Ramadhan mengatakan, persoalan Papua adalah masalah yang sangat rawan dan harus dilakukan pendekatan secara komprehensif.
Dia menyebutkan, pola gerakan separatis masyarakat Papua saat ini terpecah dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah kubu radikal, yakni majelis rakyat Papua (MRP) yang mematok target kemerdekaan sebagai harga mati.
Sementara kelompok kedua lebih "moderat". MRP yang masuk kubu ini justru tidak menginginkan Papua terpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "Untuk itu perlu pendekatan yang komprehensif," katanya.
Dia menuturkan, potensi separatisme itulah yang saat ini menjadi perhatian serius Komisi I DPR. Selain dipicu oleh eskalasi teror yang makin meningkat akhir-akhir ini, persoalan ekonomi juga menjadi sorotan utama para wakil rakyat di Senayan.
Karena itulah, Ramadhan Pohan mengingatkan agar kebijakan otonomi khusus benar-benar diterapkan secara konsisten. Ia juga mengimbau pemerintah agar memberi perhatian lebih pada masyarakat Papua, baik dalam hal peningkatan kesejahteraan mereka, layanan pendidikan, kesehatan, pembagian "kue" kekuasaan yang lebih berimbang, maupun dalam hal penegakan hukum.
"Apa pun pilihannya, harus diakui bahwa sampai sekarang masih ada masalah serius di Papua. Harus diakui bahwa Papua masih sangat kurang pembangunannya. Papua masih terbelakang dibanding provinsi-provinsi lain di Indonesia," kata Pohan.
Pohan menyarankan, penanganan masalah separatisme hendaknya tidak sampai menggunakan kekerasan. Pemerintah harus mengedepankan pendekatan soft power atau penyelesaian secara dialogis, bukan dengan menggunakan senjata.
Seperti diketahui, sekitar dua ribu warga Papua menggelar aksi unjuk rasa di halaman gedung DPR Papua di Jalan Samratulangi, Jayapura, Papua, 18 Juni lalu.
Sepanjang melakukan aksinya, massa terus meneriakkan "Papua Merdeka" dan "Referendum". Warga Papua merasa otonomi khusus yang telah diberlakukan sejak tahun 2001 itu belum diimplementasikan maksimal.
Dalam melakukan aksi unjuk rasa, sebagian warga Papua menggunakan pakaian adat. (M Kardeni/Rully/Tri H/Feber S)
sumber:http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=260180

Tuesday, August 17, 2010

Jumlah Penduduk Papua sisa 2,8 Juta

JAYAPURA -MI: Hasil Sensus Penduduk (SP) tahun 2010 di Provinsi Papua tercatat 2,8 juta jiwa.

Hal ini diungkapkan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua Djarot Soetanto, sekaligus mengakui bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak.

"Dari total 2,8 juta jiwa, jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1,51 juta jiwa dan perempuan 1,34 juta jiwa," jelas Djarot, kepada pers di Jayapura, Senin (16/8).

Ia menambahkan, jumlah penduduk ini dihitung berdasarkan dokumen pada saat pencacahan penduduk di lakukan seluruh Provinsi Papua.

"Dalam hal ini dokumen C1 adalah untuk bertempat tinggal tetap, C2 untuk tuna wisma, awak kapal, barak militer dan penjara, serta L2 untuk suku terasing, asrama dan pondok pasantren serta Rumah Sakit Jiwa (RSJ)," ungkapnya.

Dari data yang diterima C1 jumlah penduduk 2. 798,938 juta jiwa, sedangkan C2 untuk tuna wisma 35 orang, awak kapal 887 orang, barak militer 6.279 jiwa, penjara sebanyak 1.340 jiwa.

Sedangkan dokumen L2, untuk RSJ 33 jiwa, suku terasing 865 orang, pondok pasantren 173 jiwa, asrama 1.061 jiwa dan lainnya sebanyak 13.202 jiwa.

Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Provinsi Papua tahun 2000-2010, kata dia, rata-rata sebesar 5,55% per tahun.

"Ini merupakan LPP tertinggi di Indonesia," terangnya.

Kabupaten dengan LPP tertinggi adalah Kabupaten Deiyai, Papua (18.91), disusul Kabupaten Nduga (14.43).

"Sedangkan Kabupaten Mamberamo Raya merupakan kabupaten dengan LPP paling lambat di Papua, yakni sebesar 0,02 per tahun," tandasnya.

Hasil akhir ini dicapai setelah melakukan semua perhitungan selama pencacahan penduduk Papua dari bulan Mei hingga Juni tahun ini. (Ant/OL-3)****

Pdt. Socrates Sofyan Yoman, MA: Kasus Puncak Jaya Murni Rekayasa Militer

Kasus Puncak Jaya Murni Rekayasa Militer

Pdt. Socrates Sofyan Yoman, MA:
Kasus Puncak Jaya Murni Rekayasa Militer

Mulia, Puncak Jaya: Pendeta Socrates Sofyan Yoman, MA, ketua Umum Gereja Baptis, berpusat di Jayapura Papua, tiba di Mulia Tanggal (9/7), ibu kota Kabupaten Puncak Jaya, untuk mengumpulkan fakta kasus pembunuhan enam warga sipil non Papua (12/10), menyusul dilakukannya operasi militer gabungan yang melibatkan pasukan Kopasus, TNI AD, Polisi dan Brimob.

"Saya berkunjung ke Mulia hanya satu hari saja (9/7) mengingat situasi di kabupaten Puncak Jaya tidak kondusif sehingga saya kembali ke Jayapura esoknya (10/7). Walaupun kunjungan saya singkat namun setidaknya saya mengumpulkan sejumlah data penting tentang bagaimana terjadinya kasus itu. Hal pertama yang saya saksikan disana adalah saya melukiskan kota itu ibarat kota mati, aktifitas sosial masyarakat sudah lumpuh total, pegawai pemerintah baik dari pegawai kelas rendahan sampai pejabat perintah sudah mengungsi keluar dari kabupaten Puncak Jaya. Sedangkan penduduk lokal mengungsi ke hutan-hutan, gunung-gunung dan kempung-kampung yang dirasa aman. Sementara itu Kabupaten puncak Jaya sudah dikuasai sepenuhnya oleh pasukan gabungan lengkap dengan alat bantu operasi seperti pesawat Helikopter dan mesin pembunuh lainnya. Dalam keadaan seperti itu biasanya militer bebas melakukan apa saja mengingat diatas daerah itu karena diisolasi oleh militer," ungkap Sofyan kepada Staff Human Rigth Monitoring pertelpon (7/8) pukul 10.00 WP.

Menurut Sofyan Yoman, kasus yang terjadi di Kabupaten Puncak Jaya adalah murni rekayasa militer untuk mencapai tujuannya yakni; pertama untuk menjastifikasi kehadiran pos-pos militer disepanjang jalan trans dari Kabupatan Wamena ke Kabupatan Puncak Jaya; Kedua Menjastifikasi dibangunnya Batalyon Baru di pegungan Tengah, Ketiga membangun publik Teror terhadap warga Papua; keempat untuk meraup uang Otonomi khusus dan kelima untuk menciptakan ketidak-percayaan masyarakat kepada Bupati yang selama ini dipegang oleh pejabat sipil.

Sofyan Yoman, mengaku sore ini (selasa, 2/11) baru mendapat laporan terbaru yang membuktikan bahwa militerlah yang merekayasa peristiwa yang terjadi di puncak Jaya. Berikut baca laporan investigasi yang dihimpun oleh Pdt. Socrates Sofyan Yoman, MA di bawah ini:

Peristiwa tanggal 17 juli 2010.


Tanggal 17 Agustus Goliat Tabuni dari Ilaga tiba di kampung Guragi tujuannya adalah; (1). Untuk melihat kuburan, ayah dan ibunya serta kakak tertuanya yang telah lama meninggal dunia; (2). Memberitahukan kepada Anep Murip supaya menghentikan penebangan hutan milik keluarga Goliat Tabuni untuk dibuat sebagai lapangan pesawat terbang. Menurut Goliat Tabuni bahwa sebenarnya hutan itu adalah hutan lindung dan banyak tanaman pohon kelapa hutan milik keluarga Goliat Tabuni; (3). Pulang kampung halamanya sendiri karena sudah lama meninggalkan kampung halamanya. Kedatangan Goliat Tabuni didengar oleh Eli Renmaur, Bupati Puncak Jaya lantas bupati mengutus dua orang yakni; Arnoldus Tabuni dan Tawingga Wonda untuk menanyakan tujuan Goliat datang ke Guragi. Dalam pertemuan itu Goliat menegasakan bahwa tidak ada rencana jahat dibalik kedatangannya ke kampung Guragi. Kedatangannya ke kampung guragi tercantum dalam 3 point di atas.


Setelah kedua utusan itu selesai bertemu dengan Goliat Tabuni, keduanya kembalii melaporkan hasil pertemuannya kepada bupati. Karena tidak ada rencana jahat dibalik kedatangan Goliat ke kampung Guragi sehingga Bupati tidak mengirim utusan lagi untuk bertemu dengan Goliat. Tapi rupanya pasukan Kopasus yang bermarkas di kota Mulia mendengar Goliat hadir di kampung Guragi sehingga dikirim sejumlah anggota Kopasus ke kampung Guragi, dalam perjalanan ke kampung Guragi utusan Kopasus ini ditembaki oleh kelompok tidak dikenal ( bukan kelompok Goliat Tabuni). Seorang anggota Kopasus menderita luka ringan. Hampir satu bulan (27) hari tidak ada tindakan-tindakan yang diambil oleh aparat militer. Semua keadaan aman, kegiatan masyarakat berjalan seperti biasa.

Pada tanggal 14 September , pasukan Satgas kopassus kembali ke Guragi dengan tujuan mencari, menangkap atau menembak Goliat Tabuni. Pasukan kopassus tidak menemukan Goliat. Tetapi, bertemu dengan pendeta Elisa Tabuni dan anaknya juga seorang gembala (Pendeta). Pasukan kopassus bertanya kepada Elisa Tabuni tentang keberadaan Goliat Tabuni. Pendeta Elisa menjawab tidak tahu tentang Goliat. Tetapi pasukan kopassus menangkap pendeta Elisa Tabuni dan anaknya serta mengikat kedua tangan pendeta itu dengan tali, ikat pinggang berwarna loreng.

Dalam perjalanan, pendeta Elisa dan anaknya ditanya oleh kopassus tentang ayat firman Tuhan yang terdapat dalam Roma 13 tentang pemerintah adalah wakil Allah. Pendeta Elisa dan anaknya tidak dapat menjawab karena Elisa dan anaknya tidak bisa mengerti dan berbicara bahasa Indonesia dengan baik sehingga pasukan kopassus marah dan menembak mati pendeta Elisa Tabuni dalam keadaan tangan terikat dengan tali. Sedangkan anaknya berhasil melarikan diri dalam keadaan tangan terikat. (Anaknya pendeta menjadi saksi hidup pembunuhan ayahnya).

Tanggal 12 Oktober, terjadi Penembakan atau pembunuhan terhadap 6 orang non Papua yang bekerja sebagai sopir mobil Hartop di jalan Trans Wamena, Mulia. Sedang Kelompok atau pelaku pembunuh 6 orang non Papua ini masih menjadi misteri bagi rakyat disana. Sementara militer menuding Goliat Tabuni. Karena muncul dua kelompok baru yang tidak jelas selain Goliat Tabuni yaitu : 1. Kelompok Marunggen Wonda. Keberadaan kelompok Marunggen menajadi tanda-tanya besar bagi masyarakat sipil di Mulia. Kelompok yang dipimpin oleh Marunggen Telenggen yang mengaku pemimpin TPN/OPM bagi kelompoknya tetapi lebih leluasa masuk keluar kota dari pada Goliat Tabuni. Dalam kelompok Marunggen Wonda ini ada Amoldus Tabuni, Terry Telenggen dan Lucky Telenggen.

Kelompok kedua yang dipimpin oleh Anton Tabuni. Kehadiran Kelompok Anton Tabuni dipertanyakan masyarakat sipil di Mulia karena Anton Tabuni yang mengaku dirinya sebagai pimpinan TPN/OPM bagi kelompoknya tapi Anton bebas masuk masuk keluar kota dan membakar gedung sekolah, kantor distrik.

Belum bisa dipastikan kelompok siapa yang mengadakan eksekusi terhadap 6 warga non Papua sebab kopassus sudah memblokir jalan ke Guragi, dan menutup akses komunikasi dengan Goliat melalui Single Sign Band (SSB) terputus. Kaluapun berkomunikasi dengan SSB, Tetapi masih tanda tanya juga apakah yang berkomunikasi melalui SSB itu Goliat Tabuni atau kelompok Marunggen Wonda dan Anton Tabuni ? mengingat kopasus sudah memblokir jalan ke Guragi.

Teror terhadap pendeta Yason Kogoya, ketua klasis Yamo.


Tanggal 15 Juni, pukul 21.00 WP ketua klasis wilayah Yamo, pendeta Yason Kogoya dijemput oleh dua anggota kopasus atas perintah Enok Ibo, sekretaris daerah (sekwilda) kabupaten Puncak Jaya, korban diinterogasi selama tiga jam di kamar tertutup dari pukul 21.15 sampai 24.00 WP. Saat itu Anggota kopassus mengancam akan mengikat kedua tangannya sambil menunjukan tali yang pernah dipakai (barang bukti) untuk mengikat tangan Pendeta Elisa Tabuni dan menembaknya.

20 Juni, pukul 13.00 WP, pasukan melancarkan operasi dari darat dan udara terhadap penduduk sipil. Helikopter TNI menembak dan meluncurkan boom-boom ke perkampungan penduduk sipil sementara acara makan bersama sedang berlangsung. Tetapi om-bom dan peluru yang diluncurkan helikopter TNI tidak meledak. Aksi boom membabi buta itu menyebabkan perkampungan di 27 Gedung Gereja, atau 27 jemaat terpaksa lari ke hutan-hutan untuk bersembunyi dan menyelamatkan diri sejak peristiwa tanggal 27 Juli 2010.

Gedung gereja yang dikosongkan oleh umatnya sebagai berikut : Gereja Tanoba, Gereja Yagorini, Gereja Monia, Gereja Bigiragi, Gereja Peragi, Gereja Yogonggum, Gereja Yoromugum, Gereja Pilia, Gereja Wulindik, Gereja Gimanggen, Gereja Tingginambut, Gereja Toragi, Gereja Pilipur, Gereja Kolome, Gereja Agape, Gereja Yanenggawe, Gereja Kayogebut, Gereja Pagarigom, Gereja Yiogobak, Gereja Yibinggame, Gereja Ndondo, Gereja Yamiruk. Gereja Wirigele, Gereja Yagonik, Gereja Wunagelo, Gereja Wandenggobak, Gereja Pagelome.

Sementara itu jumlah penduduk yang diperkirakan bersembunyi di hutan- hutan diperkirakan mencapai 5.000 orang. Sampai saat ini belum diketahui keberadaan para pengungsi ini karena wilayah-wilayah itu sudah diblokir oleh pasukan gabungan. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, biasanya banyak penduduk menemui ajalnya pengungisian dihutan karena sakit dan juga kehabisan bahan makanan karena militer memusnahkan hasil-hasil kebun.

Perampasan/pencurian Harta Benda Masyarakat.
Dalam melakukan operasinya pasukan gabungan juga mencuri dan menembak ternak babi milik masyarakat sebanyak 8 ekor dan menjualnya.

Biaya Operasi Militer Berasal dari Uang Otonomi Khusus


Seorang pejabat pemerintah kabupaten Puncak Jaya yang dimintai keterangannya melaporkan bahwa uang yang diminta oleh militer untuk melancarkan operasi adalah berasal dari dana otonomi khusus dengan perincian sebagi berikut;
Tanggal 15 Oktober 2004 sebanyak Rp 760.000.000,-
Tanggal 16 Oktober 2004 sebanyak Rp 500.000.000,-
Tanggal 17 Oktober 2004 sebanyak Rp 500.000.000,-
Tanggal 18 Oktober 2004 sebanyak Rp 750.000.000,-
Total pengeluaran Rp 2.520.000.000,-

Perincian pengeluaran khas daerah ini belum termasuk pengeluaran dari tanggal 28 Juni ke depan sehingga diperkirakan dana Otsus yang nantinya dikeluarkan oleh Pemerintah daerah diperkirakan akan membengkak mencapai 5 milyard rupiah.

Data sementara pasukan yang didroping di Mulia terdiri dari; Kopasus 100 orang, Brimob 400 orang, Tim khusus ( Timsus) 100 orang (1 kompi), Angka kehadiran militer diperkirakan akan bertambah karena pada saat Pendeta Sofyan Yoman meninggalkan kota Mulia (22/10) Sofyan melihat 10 orang pasukan Brimob baru yang diturunkan di Mulia dengan pesawat penerbangan sipil milik Trigana air.

Lepas dari soal di atas Sofyan Yoman juga sangat menyesalkan tindakan Kapolda Papua, Timbul Silaen, yang secara sepihak membatalkan konferensi Sinode Segi Tiga yakni; Gereja Injili di Indonesia, (GIDI) Persekutuan Gereja-gereja BAPTIS Papua, Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Wilayah Papua yang sedianya dilaksanakan pada tanggal 12 – 25 Mei, dan bertempat di Puncak Jaya, dibatalakan dengan alasan keamanan, menyusul terbakarnya Aula gereja beberapa hari lalu tanpa sebab yang tidak jelas.

Menurut, Yoman, Timbul Silaen tidak punya wewenang untuk mengintervensi gereja apalagi membatalkan konfrensi tiga gereja di puncak Jaya, karena yang wewenang penuh adalah ketiga gereja tersebut, soal alasana keamanan seperti yang dikawatirkan Timbul, itu jelas tidak masuk akal sebab selama masyarakat sangat menghormati para pendeta-pendeta.

Dari Fakta kasus di atas Pendeta Socrates Sofyan Yoman, MA menyerukan kepada ;

1. Masyarakat Internasional segera menekan Pemerintah Indonesia dan Panglima Kodam XVII/ Trikora serta Kapolda Papua untuk segera menarik pasukannya dari Mulia Puncak Jaya. Guna mencegah jatuhnya korban-korban rakyat sipil tidak berdosa akibat reyasa militer sendiri.

2. Komnas HAM Indonesia segera membentuk Team Fact Finding untuk mengungkapkan Fakta kasus yang terjadi di Mulia puncak Jaya.

3. Pasukan Non Organik TNI AD dan Kopasus segera ditarik ke luar dari Papua.